Waktu SD
Teeeet..teeet... bel sekolah ku sudah berbunyi.
Jam di loby Sally Youth pun manunjukan pukul 12.00 tanda pulang. Aku
menunggu papa di Loby, sampai... "din, din," klakson papa berbunyi. Aku
segera manghampirinya. Papa memelukku. Well, papa sangat menyayangiku,
terlebih istrinya Ny. Ira meninggal setelah melahirkanku. Ny. Ira tak
lain adalah Ibuku. "Halo sayang, maaf telah membuatmu menunggu." Kata
papa. "Tidak apa-apa pa, ayo kita berangkat."
Mobil Toyota Yaris
berwarna putih dengan plat nomor B 1456 RFS meninggalkan sekolahku.Papa
mengendarai mobil itu dengan sangat kencang. Tanpa sadar dia hampir
menabrak pengamen cilik yang tak lain dan tak bukan adalah Fittarah.
Well, di siitulah kami pertama kali bertemu. "Astaga, apa itu barusan?"
gumam papa. "sebentar ya Nadine, papa mau melihatnya dulu." Anak itu
tidaklah terluka sama sekali. Dia hanya saja jongkok sambil menutup
wajahnya. Aku pun segera mengangkat wajahnya.Fittarah berumur sebaya
denganku. 8 tahun.
Ternyata dia adalah seorang pengamen. Melihat kehidupannya, aku merasa sangat beruntung. Aku bisa bersekolah, dan kehidupanku juga enak. seiap pulang sekolah, aku selalu menunggu papa di tempat biasa Fittarah mangkal. Hingga pada suatu hari...
"Hai Vitra.." sapaku ramah. Aku memang memanggil Fittarah dengan nama Vitra, rasanya lebih mudah dipanggil dan lebih akrab. Aku juga sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. "Hai... duduk sini, yuk.." Vitra memanggilku. Lalu disana kami bercerita dan bercengkerama. Ternyata Vitra adalah anak yang baik. Tak seperti dugaanku bahwa anak jalanan itu bandel. Mereka sangat ramah dan lucu. Misalnya si Udik, saat aku membuka I-Pad dia berkata, "Apaan tuh? kok tipis banget kayak kardus?" aku menjawab "ini iPad. mau main?" kataku pada anak berumur 4 tahun itu. "Boleh?" katanya penuh harap. Aku menggangguk. Papa juga sudah mengenalnya. Entah apa yang Papa Pikirkan, tiba-tiba saja dia berkata
, "Vitra baik, ya? Kira-kira kamu mau gak kalau dia tinggal disini sama kita?" Aku langsung menggangguk. Tentu saja aku mau. Mungkin Papa pikir aku kesepian di rumah, hanya ada Mang Udin dan Bi Sumi di rumah, atau Papa kasihan dengan Vitra. Ah, nggak tahu lah, yang penting Vitra tinggal bersamaku.
Waktu SMP
Waktu tak terasa lama berlalu. Sekarang
aku bersekolah di Georgino Highschool , sekolah favorit yang terkenal di sekolahku.
Aku merasa nyaman di sekolah ini. Vitra juga. Sekarang sudah jan 14.00.
Saatnya pulang. Aku dan Vitra menuju mobil. "Dagg Ray," Aku melambaikan
tangan menuju pintu mobil. Bisa dibilang, Ray adalah cinta pertamaku.
Vitra tahu aku menyukainya.
Di sekolah ini, aku makin nyaman,
tentunya karena aku menjadi tenar di kemudian hari. Aku adalah ketua
OSIS, sekaligus pemimpin upacara. Aku telah memenangkan lomba bernyanyi
antar SMP dan Olimpiade matematika. The Last, I'm so Happy!
Mulailah dia merebut semuanya.
Semakin
lama, Vitra sudah seperti adikku sendiri, bahkan terkadang aku lupa
kapan papa mengadopsinya. Bagaimana tidak? Kami berangkat sekolah
bersama, tidur di ranjang yang sama, makan bersama, menanggis serta
tertawa bersama. Itulah yang membuat kami akrab.
Vitra pun tak mau
kalah dengan dedikasinya. Perlahan dia mulai tenar karena dia aktif di
Eskulnya.
Dia tak sombong dengan semua itu. Tapi aku mulai tak tahu diri. Aku
mulai sombong dan melupakan Vitra terhadap apa yang dia ajarkan ke
padaku.
Hari ini hari Senin, aku seharusnya sudah bersiap untuk
menjadi pemimpin upacara. Sayangnya, aku mendadak kebelet. kebelet
pingin pipis, maksudnya. Padahal aku sudah meminta Bu Lina untuk
menungguku. Tapi apa boleh buat? Upacara akan segera di langsungkan. Bu
Lina tak sabat menunggu. Akhirnya, Beliau memutuskan Vitra untuk memjadi
Pemimpin sementara. dengan wajah yang kecewa, dibarisan ketiga aku
menatap Vitra yang berlagak di lapangan. Darahku mulai mendidih. mungkin
karena panas matahari atau emosiku. Rasanya aku ingin sekali berada di
tengah lapangan itu. Tapi malah seorang amatiran yang ada disana. Uh,
sebel.
Biasanya aku sehabis upacara langsung ke kantin sama Vitra.
Tapi kalau lagi sebel sama dia, ngapain lagi? Mending main sama Ade,
Nila, Eni, sama Rina.
Saatnya
mempersiapkan buku2, tentunya kita mau pada balik. "yah, buku bahasa
inggris ku hilang," Vitra kelabakan mencari bukunya. "di kolong meja
kali!" Kata Ismi. Vitra melonggo. "Gak ada, gimana dong?" Vitra
ketakutan. Aku sudah menunggu di ambang pintu dengan judesnya. "Eh,
Nadine, pulang yu.." sapa Vitra ramah.
Sesampainya di rumah, aku
masih saja illfeel. Apa lagi kalau inget2 upacara tadi. "Nadine, nadine,
tunggu aku. Denger aku dulu, Nadine." Vitra mengejarku melewati anak
tangga. Vitra menghampiriku, "aku tahu. Kamu pasti marah sama aku gara2
upacara tadi pagi. Iya kan?" Aku diam seribu bahasa. "Duh, jangan marah
dong.. Tadi tuh aku kepepet disuruh sama Bu Lina. Kata dia kamu terlalu
lama di toiletnya. Apa boleh buat, jadi aku.. Ya gitu deh, kamu ngerti
kan? Pokoknya aku ga ada maksud buat bikin kamu kesel. Maafin aku dong."
wajahnya memelas. Aku pun memaafkannya. Perhaps, aku aja kali ya yang
egois? Masa gara2 gitu doang langsung ngambek? So, aq maafin aj dia.
Kami
berdua di panggil papa. "Nah, ini dia anak papa yang cantik. Kebetulan
nih, papa ada sesuatu untuk kalian." beliau menunjukan liontinnnya
kepada kami. Aku brwarna emas, dan Vitra berwarna perak. Kata papa,
kalung itu memang khusus di datangkan dari Perancis, dan warnanya di
sesuaikan dengan karakter kami.Tapi, aku sukanya yang warna perak. And
then, gara2 itu aku ngambek lagi! Uh... makan malam sudah siap. Kali ini
kami makan bersama Aunt Lindy. beliau datangg belum lama ini. Menu kami
malam ini adalah beef steak saus perancis. MMM sepertinya makanan itu
terlihat sedap bagiku dan Vitra. Itu meman makanan kesukaan kami. Tapi
kalau lagi marahan gini, rasanya malah... teribly!
saat di meja makan
Aku yang kesal tidak menyentuh makananku. Aku hanya
memotong2nya menjadi serpihan kecil saking kesalnya. Begitupun Vitra.
Dia belum mau memulai makannya sebelum aku juga memakannya. Papa yang
daritadi melahap makanan pun menatap kami. "Astaga! Kupikir kalian sudah
selesai melahap semua itu. Whats going on my children?" Papa menaikkan
sebelah alisnya. "Common my dear, let Finish your dinner! its,
delicious" Kata Aunt Lindy dengan aksenperancisnya yang kental. "umm,
pa! Aku boleh tidak makan di balkon? Aku bosan nih?" kataku. "why?"
tanya papa. "Ya... aku ingin sekali-sekali ajja makan di sana ganti
suasanalah pa! boleh, ya?" kataku langsung meninggalkan meja makan
saking tak sabar. Vitra menatapku yang sedang berlari ke belakang rumah,
"Aku juga deh, aku mau makan di teras aja. Mau lihat taman rumah."Vitra
langsung berlari menuju pintu. "Apa yang terjadi terhadap anak2 itu?"
Aunt Lindy pusing melihat tingkah-polah kami.
"Ding
Dong." bel depan rumah berbunyi. Aku segera melonggokan kepalaku dari
balkon, melihat siapa yang datang. Ternyata itu Ray! mau apa dia datang?
Oh, dia langsung keteras . Oh, jangan lagi! Jangan lah Vitra mengambil
kebehagiaanku lagi! Buru2 aku turu menuju taman dan sembunyi di balik
semak-semak. "Eh, Ray! Mau apa kamu datang malam begini?" Tanya Vitra.
Ray menyodorkan buku Bahasa Inggrisku, "Oh, ya! Nih, Punyamu. aku
menemukannya di kolong meja lab bahasa," "wah, terimakasih ya!" Wajah
Vitra berbinar. Fiuh, untunglah! Ternyata Ray hanya mau mengembalikan
buku yang hilang. "Makasih ya, Ray! Ada apa lagi? mau menemui Nadine?
Aku panggil ya! Dine, Nadine! turun dong! ada sesuatu nih di teras,"
Vtra berteriak seperti orang bodoh. "Eh, jangan2! Aku gak ingin
menemuinya," Lanjut Ray sambil merogoh kotak cincin yang ada di sakunya.
"Ini buat kamu! Kamu aalah orang pertama yang telah mengalihkan
duniaku. Kau cantik, kau pintar, dan yang paling ku suka kamu itu
orangnya you're down to earth. Itu yang aku suka dari kamu. Maka dari
itu terimalah ini sebagai tanda kau menerima cintaku." Rayu Ray seperti Andre Taulany, sang raja gombal. "Apa?
Ya ampun kamu bercandanya lucu banget sih!!!" kkata Vitra. Aku tahu,
dia pasti membohongi perasaannya untukku. "Aku nggak bohong. I swear. I
love you. Udah ya, ini buatmu!" Ray mengecup pipi Vitra semelum
meninggalkan rumah. Oh, betapa sakit batinku. Hatiku hancur berkeping2!
Tak terasa air mata bobol dari mataku.
Buru2 aku masuk
ke rumah. Lalu ku terdempar di kamar. Aku menangis sesegukan, bagaimana
mungkin aku bisa tertaklukan oleh gadis jalanan yang ku ambil sendiri.
Ini sungguh tragedi. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
Tiba-tiba saja Vitra masuk ke kamarku, eh, kami. Dia
menyembunyikan sesuatu di punggungnya. Itu pasti cincin yang tadi. "Itu
cincin ya?" Aku langsung menebak. Mata Vitra terbelalak, lalu memegang
kakiku dan berkata, "Aku minta maaf. Hari ini aku telah
benar-benar mangecewakanmu. Semuanya terjadi bebitu saja. Aku nggak ada
maksud buat nyakitin kamu." "Kamu.. nggak salah. Iya, aku tahu. semua
ini terjadi begitu saja. Mungkin inilah takdirku..." Aku Langsung
Pingsan. "Nadine... aduh gimana nih?? Papa!!! Kesini dong Pa!!! Nadine Pingsan nih."
Papa langsung membawaku menuju rumah sakit terdekat. Lalu aku dimasukan ke ruang ICU, ruangan yang dingin dan tanpa Papa atau Vitra "Pa... aku takut" Di ruangan itu aku di periksa oleh dokter. Dia menusukan jarum infus kepadaku dan mengalungkan selang oksigen ke hidungku. Aku merasa bersalah sekali sama Vitra. Seharusnya aku tidak marah tadi.
aku dibawa ke ruang yang bernama ICU, disana sangat dingin, aku tak sadarkan diri, aku hanya bisa melihat bayangan mama menari-nari di pelupuk mataku.
"Hiks... aku mengacaukan segalanya..." Vitra menanggis sesenggukan di koridor rumah sakit. lalu Ray menelponnya, "Hallo..." kata Vitra dengan suara lirih. "Um... hai, Vit! aku cuma mau nanya..." "jangan lanjutkan... aku mohon keadaannya lagi sedih banget nih, Nadine masuk rumah sakit... maaf ya..." Vitra memutus perkataan Ray. Tuuut... Tuuut... Tuuut... lalu perrcakapan lewat ponsel itupun putus. "Hah? Nadine masuk rumah sakit? Ya ampun... Pantesan Vitra sampai panik begitu... mending gue sms dia aja deh..."
beep...beep... handphone Vitra bergetar, rupanya dia mendapat sms dari Ray yang berisi, "Vit, Nadine dirawat di rumah sakit mana? Aku mau jenguk dia" lalu Vitra membalas sms itu dengan tangan yang gemetar. "dia dirawat di rumah sakit bintaro, Ray, cepat kesini dong, aku lagi butuh teman buat cerita, please..."
setelah mendapat balasan sms dari Vitra, Ray langsung memakai jaketnya dan mengambil kunci motor lalu bergegas hendak ke rumah sakit dimana Nadine di rawat.
sesampainya di rumah sakit...
Ray menghampiri Vitra, lalu berusaha menenangkannya, "duh.. jangan nangis dong... percuma juga loh, kamu ngabisin tenaga kamu buat nangisin Nadine, gak akan ada pengaruh apa-apa juga, mending kamu doain dia dan kasih yang terbaik untuk kesembuhannya..." Eh... iya uga, ya... Vitra langsung nggeh ,"i... iya deh, aku ke musholla dulu ya, bener juga kata kamu..." Ray mengengguk, "berdoa sih, berdoa, tapi jangan tinggalin aku dong..." gerutu Ray dalam hati. setelah itu dia agak merinding karena di dekatnya ada kamar mayat...
Di musholla...
"Ya Allah, cobaan apa lagi yang kau beri untuk hambamu? Aku gak mau kehilangan orang yang paling kusayang untuk kedua kalinya setelah keluargaku. Aku tidak yakin kalau dia akan mampu melewati semua ini. Berilah ia kekuatan, atau berilah jalan yang terbaik bagi keluarga kami. Aku hanya mau Nadine sembuh dan tersenyum..." Vitra menitikkan air matanya. lalu kembali ke depan ruangan dimana aku dirawat. dia mendengar percakapan dokter dan papa. "Kami sudah berusaha, pak... tapi nampaknya organ hati dari pasien sudah tidak bisa di tolong, mungkin kami harus mencarikan donor yang sesuai dengannya agar dia bertahan hidup." dangan mantap, Vitra datang dan berkata, "Mungkin akulah donornya." "Vitra, apa-apaan kamu? Nadine itu belum sembuh, kamu malah nambah beban papa aja." gerutu papa. "Pa, aku yakin kok. cuma cara ini yang bisa mengembalikan Nadine kekita. Aku yakin kok, ini memang jalan yang terbaik untuknya, papa mau Nadine sembuh, kan?" setelah beberapa hari, papa memikirkan kata-kata putri kecilnya itu. Akhirnya papa menyetujui hal itu, asalkan keselamatan dan nyawa kedua putrinya terjamin.
operasi pun di langsungkan. Ternyata benar, operasi berjalan dengan sukses, donornya sangat cocok, baik dari donor darah, ataupun ukurannya. Aku perlahan mulai pulih, tetapi Vitra malah kritis. Saat Ray menunggu Vitra, denyut jantung Vitra tampak tidak stabil. Lalu semua orang menghampirinya, inilah saat yang paling mengharukan...
"Pa... aku capek... aku mau tidur lagi, nyanyiin aku lagu nina bobo dong, supaya aku bisa tidur..." saat itu semua menitikan air mata termasuk aku. Akhirnya Vitra menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 23 Januari, tepat seperti hari saat kami bertemu pertama kali. Selesai.
aku dibawa ke ruang yang bernama ICU, disana sangat dingin, aku tak sadarkan diri, aku hanya bisa melihat bayangan mama menari-nari di pelupuk mataku.
"Hiks... aku mengacaukan segalanya..." Vitra menanggis sesenggukan di koridor rumah sakit. lalu Ray menelponnya, "Hallo..." kata Vitra dengan suara lirih. "Um... hai, Vit! aku cuma mau nanya..." "jangan lanjutkan... aku mohon keadaannya lagi sedih banget nih, Nadine masuk rumah sakit... maaf ya..." Vitra memutus perkataan Ray. Tuuut... Tuuut... Tuuut... lalu perrcakapan lewat ponsel itupun putus. "Hah? Nadine masuk rumah sakit? Ya ampun... Pantesan Vitra sampai panik begitu... mending gue sms dia aja deh..."
beep...beep... handphone Vitra bergetar, rupanya dia mendapat sms dari Ray yang berisi, "Vit, Nadine dirawat di rumah sakit mana? Aku mau jenguk dia" lalu Vitra membalas sms itu dengan tangan yang gemetar. "dia dirawat di rumah sakit bintaro, Ray, cepat kesini dong, aku lagi butuh teman buat cerita, please..."
setelah mendapat balasan sms dari Vitra, Ray langsung memakai jaketnya dan mengambil kunci motor lalu bergegas hendak ke rumah sakit dimana Nadine di rawat.
sesampainya di rumah sakit...
Ray menghampiri Vitra, lalu berusaha menenangkannya, "duh.. jangan nangis dong... percuma juga loh, kamu ngabisin tenaga kamu buat nangisin Nadine, gak akan ada pengaruh apa-apa juga, mending kamu doain dia dan kasih yang terbaik untuk kesembuhannya..." Eh... iya uga, ya... Vitra langsung nggeh ,"i... iya deh, aku ke musholla dulu ya, bener juga kata kamu..." Ray mengengguk, "berdoa sih, berdoa, tapi jangan tinggalin aku dong..." gerutu Ray dalam hati. setelah itu dia agak merinding karena di dekatnya ada kamar mayat...
Di musholla...
"Ya Allah, cobaan apa lagi yang kau beri untuk hambamu? Aku gak mau kehilangan orang yang paling kusayang untuk kedua kalinya setelah keluargaku. Aku tidak yakin kalau dia akan mampu melewati semua ini. Berilah ia kekuatan, atau berilah jalan yang terbaik bagi keluarga kami. Aku hanya mau Nadine sembuh dan tersenyum..." Vitra menitikkan air matanya. lalu kembali ke depan ruangan dimana aku dirawat. dia mendengar percakapan dokter dan papa. "Kami sudah berusaha, pak... tapi nampaknya organ hati dari pasien sudah tidak bisa di tolong, mungkin kami harus mencarikan donor yang sesuai dengannya agar dia bertahan hidup." dangan mantap, Vitra datang dan berkata, "Mungkin akulah donornya." "Vitra, apa-apaan kamu? Nadine itu belum sembuh, kamu malah nambah beban papa aja." gerutu papa. "Pa, aku yakin kok. cuma cara ini yang bisa mengembalikan Nadine kekita. Aku yakin kok, ini memang jalan yang terbaik untuknya, papa mau Nadine sembuh, kan?" setelah beberapa hari, papa memikirkan kata-kata putri kecilnya itu. Akhirnya papa menyetujui hal itu, asalkan keselamatan dan nyawa kedua putrinya terjamin.
operasi pun di langsungkan. Ternyata benar, operasi berjalan dengan sukses, donornya sangat cocok, baik dari donor darah, ataupun ukurannya. Aku perlahan mulai pulih, tetapi Vitra malah kritis. Saat Ray menunggu Vitra, denyut jantung Vitra tampak tidak stabil. Lalu semua orang menghampirinya, inilah saat yang paling mengharukan...
"Pa... aku capek... aku mau tidur lagi, nyanyiin aku lagu nina bobo dong, supaya aku bisa tidur..." saat itu semua menitikan air mata termasuk aku. Akhirnya Vitra menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 23 Januari, tepat seperti hari saat kami bertemu pertama kali. Selesai.
0 comments:
Post a Comment