Episode yang lalu...
“Oh,
jadi itu yang namanya Ariel?” Tanya Helen.
“Iya,
yang itu orangnya. Yang bertabrakan sama kamu, yang sekelas sama kamu, yang
semeja sama kamu, yang menurut kamu sombong, dan yang terakhir… yang berduel
sama kamu,” kata Linda kesal.
“Loh, kok kamu kesal, Lin?” kata Helen.
“Aku
bete aja. Kenapa bukan aku aja yang
kayak begitu sama Ariel?” kata Linda. Kali ini bibirnya agak maju.
“Oh…
karena itu,” kata Irene meledek Linda.
“Ih… kamu nyebelin banget, sih Ren,” kata Linda gemas sambil
mencubit hidung Irene. Irene pun meringgis kesakitan. Helen pun tertawa melihat
tingkah teman-temannya yang lucu itu. Setelah lama berjalan, tak terasa mereka
telah sampai di perempatan jalan. Di perempatan jalan pun mereka berpisah.
Helen belok ke kiri, Linda lurus, dan Irene belok ke kanan.
Episode 3...
Angin membelai dengan sangat lembut, Helen pun
melepas ikatan rambutnya. Helai demi helai rambutnya pun tertiup angin lembut
itu. Wangi angin di sore itu menyejukkan hati. Saat dia memandang ke sebelah
kiri, terlihat nyiur melambai-lambai dengan anggunnya. Suasana saat itu
sangatlah damai, hanya ada suara desiran ombak, hembusan angin, burung-burung,
serta suara lumba-lumba yang sedang bercengkerama. Helen pun menutup matanya
sambil menikmati kedamaian itu. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dengan
lembut, suara itu tak asing bagi Helen sehingga membuatnya membuka matanya.
Saat dia membuka mata, suasana tersebut berubah menjadi suasana tempat tidurnya
dengan seprei yang berantakan dan bantal dimana-mana. Oala… ternyata itu hanya
mimpi, dan suara yang memanggilnya tadi adalah suara Ibu.
“Eh,
Ibu, kenapa, bu?” kata Helen sambil mengucek-ngucek mata.
“Ayo
bangun. Hari ini masih hari Selasa,” kata Ibu sambil membereskan seprei.
“Emangnya
kenapa kalau ini hari Selasa?”
“Ya
ampun… kamu lupa ya? Hari ini kan kamu
masih harus sekolah,” kata Ibu.
“Hah?
Iya bu aku lupa, he…he…he… sekarang jam berapa bu?” Tanya Helen sambil
garuk-garuk tidak gatal.
“Masih
jam lima kok. Tenang saja”
“Loh? Kenapa Ibu tidak membangunkanku
lima menit lagi?” Tanya Helen lagi.
“Kamu
itu suka lama kalau mandi. Sana cepat mandi, nanti keburu Ayah duluan loh…”kata Ibu.
Helen
pun langsung ke kamar mandi. Setelah mandi, dia menuju ke kamarnya untuk
memakai baju. Baju yang dia pakai hari ini adalah baju putih dengan rok biru
panjang. Setelah itu dia menyisir rambutnya yang hitam dan mengikatnya. Waktu
menunjukkan pukul enam di jam dinding.
“Helen,
ayo cepat dandannya. Kita sarapan bareng,” kata Ibu dari bawah.
“Iya
Bu sebentar,” kata Helen.
Lalu
dia meluncur ke bawah menuju meja makan. Di meja makan sudah tersedia sandwich ayam dan susu kesukaan Helen.
Dia makan bersama Ibu dan Ayahnya.
“Duh,
hari ini ayah ganteng banget, deh,” kata Helen iseng.
“Kamu
baru tahu ya, kalau Ayahmu ini memang ganteng?” kata Ayah. Helen cekikikan.
“Ih… malah pada ngobrol, ayo makan dulu.
Ayo Helen cepat makannya, nanti telat loh…”
Ibu mengingatkan.
Setelah
makan, Ayah dan Helen menuju garasi mobil. Ayah mengantar Helen ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Helen bertemu dengan kedua sahabatnya. Ya… siapa lagi
kalau bukan Linda dan Irene.
“Hai
Lin, hai Ren,” sapa Helen ramah.
“Halo,”
sapa Linda dan Irene hampir bersamaan.
Hari
ini masih masa orientasi di sekolah. Hari ini jadwalnya adalah memilih dan
mencoba ekskul. Linda, Irene, dan Helen memilih ekskulnya masing-masing. Masing-masing
siswa diperkenankan memilih setidaknya dua macam ekskul. Linda memilih ekskul
teater dan basket. Irene memilih ekskul science
club, dan basket. Sedang Helen
memilih ekskul musik dan anggar. Masing-masing siswa pun mengikuti ekskul yang
sudah mereka pilih. Masing-masing siswa pun mengikuti kakak-kakak pembimbing ekskul
mereka. Ekskul yang dicoba Linda dan Irene pertama adalah ekskul basket, dan
Helen memilih ekskul musik sebagai percobaan pertama.
Di
suasana ekskul Helen…
“Hai,
namaku Selena, siapa namamu?” sapa seorang anak berambut sebahu.
“Namaku
Helena. Salam kenal. Sepertinya kita pernah bertemu,” kata Helen ramah.
“Kamu
murid kelas 7e yang duduk semeja dengan Ariel kan? Aku teman sekelasmu dan Ariel adalah temanku juga,” jelas
Selena.
“Oh,
begitu… pantas kamu memperhatikanku saat aku berdebat dengan Ariel kemarin,”
kata Helen.
“Ariel
memang agak judes dan sombong. Maklum saja, mamanya adalah donatur bagi sekolah
ini. Pantas saja kalau dia keras kepala. Tetapi, kalau sudah kenal, dia bisa
menjadi teman yang baik kok,” kata
Selena lagi.
“Oh,
berarti kamu itu teman atau teman baiknya?” Tanya Helen.
“Kami
teman baik,” jawab Selena singkat.
“Teman
baik, atau ‘teman baik’?” canda Helen.
“Eh,
kakak pembimbingnya sudah datang. Yuk
kita duduk,” kata Selena.
Hari
ini di ekskul musik, hal yang dipelajari pertama adalah cara bermain gitar.
Kakak pembimbing di ekskul ini adalah Hanafie, dia kelas 8b, orangnya cool dan pendiam. Murid-murid di bagi
menjadi delapan kelompok. Setiap kelompok terdiri atas empat orang. Helen
sekelompok dengan Selena, Katerine, dan Josh.
“Ayo,
kamu pertama main,” kata Katerine sambil memberikan gitar kepada Helen. Helen
kaget, karena dia tidak bisa memainkan gitar.
“Aduh,
kenapa dikasih ke aku sih? Padahal
aku kan gak bisa main gitar. Lebih
baik, dicoba dulu deh,” gumam Helen
dalam hati.
Dengan
pedenya Helen mengambil gitar yang
diberikan Katerine. Padahal dia tidak bisa memainkan gitar sama sekali.
Jangankan memainkannya, menyentuh saja tidak pernah. Helen memegang kunci gitar
di tangan kanannya, sedangkan pemetik gitar di tangan kirinya. Melihat caranya
bermain gitar tersebut, teman-temannya menertawakannya. Helen pun bingung.
“Loh kok pada ketawa sih? Apa yang lucu?
Aku saja belum membunyikannya,” kata Helen.
“Hmmmpppffff….
Kamu gak bisa main gitar ya?” kata
Josh.
Helen
masih bingung.
“Cara
kamu memegang gitar itu salah Helen, seharusnya kunci gitar itu kamu pegang
oleh tangan kirimu, bukan tangan kananmu,” jelas Selena.
“Oh,
begitu ya? He…he…he… maklum, aku kan gak bisa main gitar,” kata Helen.
“Mau
diajari?” kata Hanafie tiba-tiba.
“Eh… anu… diajari?” kata Helen gagap.
Tanpa
basa-basi lagi Hanafie duduk di depan Helen. Teman-teman yang lain pun
menyingkir. Hanafie segera mengambil gitar dan membaliknya, lalu diberikan lagi
kepada Helen. Kunci demi kunci gitar diajarkannya kepada Helen.
Jemari-jemarinya pun dengan cekatan menekan kunci gitar, sementara Helen memetik
senarnya. Permainan gitar tersebut sangat merdu, dan membuat yang mendengarnya
terpana. Sehingga semua orang yang berada di ruangan tersebut pun menoleh ke
arah Helen.
“Sekarang
kamu sudah mengerti?” Hanafie bangkit dari tempat duduknya.
“Iya
pak, eh… bu. Eh… kak. Iya saya lumayan mengerti,” kata Helen gugup.
“Bagus,
sering berlatih di rumah ya?” kata Hanafie sambil menepuk pundak Helen. Helen
pun mengangguk.
Di
suasana ekskul Irene dan Linda…
“Ren,
cepetan dong ganti bajunya. Lama amat sih?
Amat aja gak lama-lama,” teriak Linda
kesal.
“Duh, ya sudah deh, kamu tinggalin aku aja. Nanti aku nyusul kok,” kata Irene.
“Oke,”
kata Linda sambil meninggalkan Irene.
Beberapa
menit kemudian, Irene keluar dari ruang ganti. Dia mengenakan seragam basket
sekolah berwarna oranye dengan lengan sebahu dan celana selutut. Rambutnya
diikat kunciran berbentuk strawberry. Dia segera menuju lapangan bola basket.
Bruuk! Tidak
sengaja Irene menabrak kakak kelas. Namanya Christie. Christie adalah kakak
kelas paling nyebelin yang pernah ada. Kalau cari masalah dengannya meskipun
tidak sengaja, pasti deh langsung di bully. Duh, please deh… jaman sekarang masih saja ada bully. Tapi itulah Christie, dia akan selalu membully orang yang cari masalah dengannya.
Teman-teman ganknya adalah Barbara,
Monique, dan Angel.
“Awww…”
teriak Christie.
“Aduh
maaf,” kata Irene sambil membantu Christie berdiri.
“Ih… jangan sentuh aku,” kata Christie
dengan nada tinggi.
“Kamu
gimana sih? Gak punya mata? Orang segede
ini kamu tabrak,” Barbara menimpali.
“Salah,
Ra. Padahal matanya ada empat, ya? Ha…ha…ha…” ejek Monique.
Irene
menunduk. Matanya terasa hangat dan akan ada sesuatu yang keluar dari matanya.
Benar saja, ternyata benda cair putih bening itu berhasil bobol dari mata Irene
sehingga membuat kacamatanya basah.
“Duh,
Irene lama banget sih? Dia dandan kali ya? Kok belum nongol-nongol juga? Lebih baik, aku samperin aja deh,” kata Linda.
Linda
yang melihat sahabatnya sedang disakiti oleh Christie dan kawan-kawannya,
langsung menghampiri Irene. “Eh… kamu
kenapa Ren?” Tanya Linda.
Irene
hanya diam, matanya tampak sembap.
“Lain
kali, suruh ya temanmu jalan pakai mata sama kaki. Jangan pakai kaki doang,”
kata Christie ketus.
Linda
menatap Christie dengan kesal, dia berusaha untuk membalasnya. Tetapi Irene
mencegahnya, “jangan buang-buang waktu dan tenaga untuk meladeni orang seperti
itu”.
“Tapi
dia udah menghina kamu, Ren,” kata Linda.
“Aku
gak apa-apa kok. Ya sudah, yuk kita
ke lapangan,” kata Irene.
Akhirnya,
mereka sampai di lapangan. Mereka dilatih basket oleh Kak Diaz dan Kak Afrie.
Hari pertama ekskul basket, siswa kelas 7 diajari dasar-dasar basket. Seperti
teknik mengoper, melempar, drible,
dan sebagainya. Saat Kak Afrie mengajarkan cara menshoot three point, Irene malah tidak memperhatikan. Afriepun tahu kalau
Irene tidak memperhatikannya, jadi dia menyuruh Irene untuk maju.
“Hei,
kamu yang pakai kacamata,” kata Kak Afrie menunjuk Irene.
“Ha?
Aku?” kata Irene sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iyalah,
yang pakai kacamata disini cuma kamu kan?
Ayo cepat maju,” kata Afrie.
“Kenapa,
kak?”
“Tadi
saya sudah menjelaskan dan mencontohkan cara menshoot three point,
sekarang coba kamu praktekkan,” katanya sambil memberikan bola kepada Irene.
“Ha?
Three point? Apaan tuh? Aduh… tadi aku gak merhatiin sih,” gumam Irene dalam hati.
Dengan
langkah yang berat, Irene mendekati ring
basket sambil mendrible bola, lalu
mencoba untuk menshoot three point,
beruntungnya, cara yang dilakukan benar, dan bolanya pun masuk ke ring tersebut. Semua orang yang
memperhatikan menganga, termasuk Linda.
“Aku
berhasil,” sorak Irene disambut riuh tepuk tangan dari teman-temannya.
“Hmh…
hanya keberuntungan pemula,” kata Afrie pelan.
Setelah
beberapa lama, akhirnya percobaan ekskul pertama selesai, setelah itu
dilanjutkan dengan istirahat. Lalu dilanjutkan dengan percobaan pilihan ekskul
yang kedua.
Di
suasana ekskul teater…
Selain
ekskul basket, Linda juga memilih ekskul teater. Sebelumnya, Linda sudah jago
berakting. Bahkan, waktu SD dulu, dia selalu memainkan peran dalam pentas drama
sekolah. Ada beberapa peran yang dimainkannya, diantaranya: domba dalam kisah
“Pengembala dan Serigala” kurcaci dalam kisah “Putri Salju” dan terkadang
menjadi burung-burung yang berkicauan di
pagi hari. Eh… tungggu dulu, itu sih namanya hanya menjadi figuran. Tetapi sama saja, figuran atau
pemeran utama, intinya sama-sama memainkan peran bukan?
Kakak
kelas masuk ke ruang auditorium, tempat Linda dan teman-temannya ekskul teater.
Kakak pembimbing ekskul ini adalah Diaz, Kevin, Sofie, Priska, dan Christie. Di
ekskul pertama, mereka mencontohkan beberapa gestur, diantaranya cermin, gestur
diam seperti patung, akting tertawa, menangis, marah, dan sebagainya.
Tiba-tiba
saja, Sofie menyuruh Linda dan Angel untuk maju. Mereka akan mencoba menampilkan
gestur cermin. Alasan sofie memilih
mereka berdua karena wajah Linda hampir mirip dengan Angel. Gestur cermin
adalah menggerakan anggota tubuh sesuai dengan apa yang di depannya, layaknya
bercermin. Kali ini Linda yang akan mengikuti Angel. Tentu saja ini perintah
Christie.
Selama
mengikuti gerakan Angel, Linda agak kesulitan. Bagaimana tidak? Gerakan-gerakan
Angel sangat sulit, dan Angel cepat berganti posisi. Linda sempat kewalahan
mengikutinya, tetapi Linda mampu mengikuti gerakan demi gerakan secara tepat
dan benar.
Suasana
ekskul science club…
Irene
memilih ekskul science club. Di
ekskul ini, kita mempelajari proses alam, reaksi kimia, dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan science. Kakak
pembimbing ekskul ini adalah Afrie dan Sammy. Hal pertama yang dipelajari di ekskul
ini adalah mengamati objek di mikroskop dan cara menggunakan mikroskop.
“Saya
dan Afrie akan menjelaskan bagian-bagian dari mikroskop, dan menjelaskan
fungsi-fungsinya,” kata Sammy sambil memegang mikroskop.
“Bagian
ini namanya pemutar halus, fungsinya untuk memfokuskan jarak dari preparat,”
Afrie menunjuk ke pemutar halus.
Selama
penjelasan, Irene terlihat menunduk ke bawah. Bukannya tidak memperhatikan,
Irene justru mencocokkan penjelasan dari kakak pembimbing dengan buku
ensiklopedia yang dibawanya. Tetapi, Afrie pikir, dia tidak memperhatikan dan malah
membaca buku komik. Lalu Afrie memanggil Irene.
“Hei,
kamu yang di belakang. Kamu tidak memperhatikan saya bicara ya? Ayo cepat kemari!”
kata Afrie kesal.
Irene
maju.
“Coba
kamu jelaskan apa fungsi dari cermin pada mikroskop,” kata Afrie sambil
menunjuk ke cermin mikroskop.
Anak-anak
yang lain bingung, karena Afrie balum menjelaskan fungsi cermin. Jadi mustahil
Irene menjawabnya, walaupun dia memperhatikan. Tetapi kali ini, Irene mampu
menjawab pertanyaan tersebut.
“Ini
cermin cembung. Cermin ini memantulkan cahaya dari luar sehingga sampai ke
lubang yang ada di diafragma. Jadi bisa menerangi preparat yang diamati di meja
preparat, sehingga kita bisa dengan jelas melihat objek yang diamati,” kata
Irene mantap. Dan semua murid yang mendengarnya mengangguk-angguk.
“Tadi
di belakang, kamu membaca buku apa?” kata Afrie.
Irene
kembali ke tempat duduknya untuk mengambil buku ensiklopedianya. Lalu
memberikannya kepada Afrie. Dan Afrie melihatnya.
“Oh,
buku ini. Ya sudah, kamu boleh duduk,” kata Afrie sambil mengembalikan buku
tersebut.
Di
kelas 7e…
“Kamu memilih ekskul anggar tidak?” kata Ariel. Helen
mengangguk.
“Sudah
praktek ekskul anggar?” Tanya Ariel. Helen menggeleng.
“Wah,
kebetulan… aku juga memilih ekskul anggar dan aku juga belum praktek ekskul
itu. Ya sudah, yuk kita ke aula
olahraga,” kata Ariel.
“Sial!
Padahal aku sengaja mencoba ekskul anggar kedua supaya tidak ketemu dengan
Ariel, ternyata, dia mencoba ekskul anggar kedua juga,” gumam Helen dalam hati.
“Hei…
jangan bengong. Yuk, kita berangkat,”
Ariel menarik tangan Helen. Dan mereka menuju ke aula olahraga.
Suasana
ekskul anggar…
“Kira-kira
kita ngapain ya disini?” Ariel basa-basi.
“Nyangkul,”
kata Helen.
“Ha?
Ciyus? Miapah? Enelan?” Ariel sok imut.
“Ih… Gak Lucu,” kata Helen.
“Aku
gak bilang kalau itu lucu,” kata Ariel sambil melirik Helen. Helen tidak
menanggapinya.
Kemudian,
kakak pembimbing datang. Lalu mereka berlatih anggar sampai bel pulang
bordering.
“Oke,
latihan hari ini cukup, sering berlatih di rumah ya,” kata salah satu kakak
pembimbing.
Bersambung...