CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday, January 19, 2013

Love In Paris EP. 5


Episode yang lalu...
Gak mungkin lah… Helen itu kan dingin terhadap cowok. Mungkin dia deg-degan karena ada ikatan batin dan instingnya mengatakan kalau Hanafie itu saudaranya. ‘Tul kan, Hel?” canda Irene.

“Betul…betul…betul…” kata Helen. Dan ketiga sahabat itupun tergelak.

“Kalau kalian berdua, gimana?” kata Helen.

“Gimana ya? Kasih tau gak ya?” kata Linda.
“Ada deh… pokoknya rahasia,” kata Irene sambil berlari dengan Linda.

“Curang!!!!!” teriak Helen sambil mengejar kedua temannya.
Episode 5
Day By Day

Masa orientasi telah selesai, hari ini masuk seperti biasa. Hari ini adalah hari Senin, dan pelajaran di kelas 7e hari ini adalah Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dan pelajaran pertama di kelas 7e adalah Matematika. Mrs Nancy memasuki kelas. Suasana yang ramai berubah menjadi tenang dan tertib.

Good morning classes,” kata Mrs Nancy

Good morning, Ma’am,” jawab seluruh siswa serempak.

“Semangat yang bagus anak-anak. Pagi ini kita akan belajar Matematika. Coba buka buku kalian halaman 4,” perintah Mrs Nancy.

“Bab yang kita pelajari hari ini adalah aljabar, sebelumnya ada yang tahu apa itu aljabar?” Tanya Mrs Nancy.

Suasana seketika menjadi hening. Semua anak saling berpandangan dengan teman semejanya, mereka semua binggung, sebab mereka belum mendengar istilah tersebut. Akan tetapi Helen tidak. Dengan percaya diri, Helen mengacungkan tangan.

“Ya, Miss Annastasya, apa jawabannya?” Tanya Mrs Nancy

“Aljabar adalah salah satu cabang dari pelajaran Matematika. Pelajaran ini mempelajari operasi hitung, variable, konstanta, bilangan bulat, dan lain-lain,” kata Helen.

“Jawaban yang bagus. Ayo kita beri tepuk tangan untuknya,” kata Mrs Nancy disambut riuh tepuk tangan murid sekelas.

“Satu lagi. Ada yang tahu siapa cendikiawan muslim yang menemukan aljabar?” Tanya Mrs Nancy lagi.

Helen bingung, “Ha? Apa hubungannya pelajaran Matematika dengan sejarah? Setahuku rumus-rumus Matematika itu memang ada dari sananya,” gumam Helen.

Ariel mengacungkan tangan.

“Mr. Alexandria, coba kamu berikan jawabannya,” kata Mrs Nancy sambil membetulkan kacamatanya.

“Cendikawan muslim yang menemukan rumus aljabar adalah Al-Khawarismi. Dia menuliskan temuannya tersebut di dalam kitab yang berjudul Al-Gebbra.” Kata Ariel.

I'm Impressed! Bagus anak-anak, oke mari kita mulai pelajaran pertama,” Mrs Nancy memulai pelajaran.

Mrs Nancy mulai menulis contoh soal di papan tulis. Contoh soalnya adalah x.x+7x+10.

Helen langsung cepat-cepat menghitung dan mencari jawabannya, sementara itu Ariel mengacungkan tangan. Tentu saja Helen kaget. Dengan sombngnya Ariel maju dan mengambil spidol dari tangan Mrs. Nancy, lalu mulai mencoret-coret di papan tulis.

Sudah beberapa menit, tetapi Ariel belum menyelesaikannya, sementara Helen sudah selesai mengerjakannya di buku tulisnya. Helen jadi geregetan ingin maju, “Mrs, boleh tidak kalau saya juga mengerjakan soal tersebut di sebelah Ariel?” kata Helen.

“Of course, go forward Miss Anastasya,” Mrs Nancy menyuruhnya untuk maju.

Lalu Helen maju dan mengerjakan soal di sebelah Ariel. Kurang dari semenit, Helen selesai mengerjakannya, lalu disusul Ariel.

“Oh, sudah selesai. Um… children, which one is the right answer?” Tanya Mrs Nancy.

“Helen answer, Ma’am,” jawab murid-murid.

Mrs Nancy melihat jawaban Helen dan mengangguk, “Oke, silahkan kalian berdua kembali ke tempat duduk masing-masing,” kata Mrs Nancy.

Helen menuju ke kursinya sambil tersenyum.

“She is very arrogant! Baru gitu aja udah sombong,” gumam Ariel dalam hati.

Bersambung...

Saturday, January 12, 2013

Love In Paris EP.4

Episode yang lalu...


Di kelas 7e…

            “Kamu memilih ekskul anggar tidak?” kata Ariel. Helen mengangguk.

“Sudah praktek ekskul anggar?” Tanya Ariel. Helen menggeleng.

“Wah, kebetulan… aku juga memilih ekskul anggar dan aku juga belum praktek ekskul itu. Ya sudah, yuk kita ke aula olahraga,” kata Ariel.

“Sial! Padahal aku sengaja mencoba ekskul anggar kedua supaya tidak ketemu dengan Ariel, ternyata, dia mencoba ekskul anggar kedua juga,” gumam Helen dalam hati.

“Hei… jangan bengong. Yuk, kita berangkat,” Ariel menarik tangan Helen. Dan mereka menuju ke aula olahraga.

Suasana ekskul anggar…

“Kira-kira kita ngapain ya disini?” Ariel basa-basi.

“Nyangkul,” kata Helen.

“Ha? Ciyus? Miapah? Enelan?” Ariel sok imut.

Ih… Gak Lucu,” kata Helen.

“Aku gak bilang kalau itu lucu,” kata Ariel sambil melirik Helen. Helen tidak menanggapinya.

Kemudian, kakak pembimbing datang. Lalu mereka berlatih anggar sampai bel pulang bordering.

“Oke, latihan hari ini cukup, sering berlatih di rumah ya,” kata salah satu kakak pembimbing.
Episode 4...


Helen mengganti bajunya lalu menuju ke kantin. Dia akan bertemu dengan sahabatnya disana. Lalu mereka bertiga pulang bersama.

“Tadi ekskul kamu gimana?” Irene bertanya kepada Helen.

“Seru banget,” kata Helen.

“Kamu nyoba ekskul apa aja?” kata Linda.

“Anggar sama musik”.

“Eh, certain dong tadi di ekskul kamu ngapain aja. Mungkin aja kamu ada chemistry dengan kakak pembimbingnya,” Linda melirik ke Helen.

Chemistry? Apa hubungannya pelajaran anggar atau musik sama pelajaran kimia?” kata Irene.

“Ren… chemistry itu maksudnya kayak ada rasa sama orang, begitu. Ah… susah deh ngejelasinnya,” kata Linda.

Chemistry? Hmmmm… saat ekskul musik aku diajari gitar sama Hanafie, kakak pembimbingnya. Nah… kalau aku ada di dekat dia, rasanya deg-degan gitu, kenapa ya?” kata Helen.

“Wah… jangan-jangan kamu ada rasa sama dia,” kata Linda.

Ih… sorry ya… buah apel di air payau,” kata Helen.

“Ha? Apaan tuh?” kata Irene.

Gak level, lah yaw…” kata Helen.

“Ha…ha…ha…” Irene dan Linda tergelak.

“Eh, tapi… kalau yang aku bilang benar, gimana?” kata Linda.

Gak mungkin lah… Helen itu kan dingin terhadap cowok. Mungkin dia deg-degan karena ada ikatan batin dan instingnya mengatakan kalau Hanafie itu saudaranya. ‘Tul kan, Hel?” canda Irene.

“Betul…betul…betul…” kata Helen. Dan ketiga sahabat itupun tergelak.

“Kalau kalian berdua, gimana?” kata Helen.

“Gimana ya? Kasih tau gak ya?” kata Linda.

“Ada deh… pokoknya rahasia,” kata Irene sambil berlari dengan Linda.

“Curang!!!!!” teriak Helen sambil mengejar kedua temannya.
Bersambung...

Tips Menghadapi UN

“Ujian Nasional” kata-kata ini menjadi suatu momok yang menakutkan bagi banyak pihak, baik dari pemerintah, guru, orang tua dan tentu saja bagi siswa itu sendiri yang akan menjalani tes Ujian Nasional. Maksud dan tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dibidang kognitif siswa selama belajar dengan standar nasional.  Menjelang Ujian Nasional, berbagai persiapan harus dilakukan oleh para siswa kelas akhir dari berbagai tingkatan mulai tingkat SD/MI ( Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah ), SLTP/MTs ( Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Madrasah Tsanawiyah ) dan juga SLTA / MA ( Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Madrasah Aliyah ). Persiapan yang harus dilakukan mulai mental, kesehatan dan kemampuan otak agar dalam pelaksanaan Ujian Nasional nanti bisa berhasil secara maksimal sesuai dengan diharapkan.  Pada kesempatan kali ini saya akan sedikit memberikan Tips Menghadapi Ujian Nasional. Dengan harapan teman-teman mampu menghadapi ujian nasional dengan hasil terbaik.  Read more: Tips Menghadapi Ujian Nasional | belajarpsikologi.comTips Menghadapi Ujian NasionalTips Menghadapi Ujian Nasional  “Ujian Nasional” kata-kata ini menjadi suatu momok yang menakutkan bagi banyak pihak, baik dari pemerintah, guru, orang tua dan tentu saja bagi siswa itu sendiri yang akan menjalani tes Ujian Nasional. Maksud dan tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dibidang kognitif siswa selama belajar dengan standar nasional.  Menjelang Ujian Nasional, berbagai persiapan harus dilakukan oleh para siswa kelas akhir dari berbagai tingkatan mulai tingkat SD/MI ( Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah ), SLTP/MTs ( Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Madrasah Tsanawiyah ) dan juga SLTA / MA ( Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Madrasah Aliyah ). Persiapan yang harus dilakukan mulai mental, kesehatan dan kemampuan otak agar dalam menanggapinya menjadi lebih bijaksana

Love In Paris EP.3


Episode yang lalu...
“Oh, jadi itu yang namanya Ariel?” Tanya Helen.

“Iya, yang itu orangnya. Yang bertabrakan sama kamu, yang sekelas sama kamu, yang semeja sama kamu, yang menurut kamu sombong, dan yang terakhir… yang berduel sama kamu,” kata Linda kesal.

Loh, kok kamu kesal, Lin?” kata Helen.

“Aku bete aja. Kenapa bukan aku aja yang kayak begitu sama Ariel?” kata Linda. Kali ini bibirnya agak maju.

“Oh… karena itu,” kata Irene meledek Linda.

Ih… kamu nyebelin banget, sih Ren,” kata Linda gemas sambil mencubit hidung Irene. Irene pun meringgis kesakitan. Helen pun tertawa melihat tingkah teman-temannya yang lucu itu. Setelah lama berjalan, tak terasa mereka telah sampai di perempatan jalan. Di perempatan jalan pun mereka berpisah. Helen belok ke kiri, Linda lurus, dan Irene belok ke kanan.
Episode 3...


 Angin membelai dengan sangat lembut, Helen pun melepas ikatan rambutnya. Helai demi helai rambutnya pun tertiup angin lembut itu. Wangi angin di sore itu menyejukkan hati. Saat dia memandang ke sebelah kiri, terlihat nyiur melambai-lambai dengan anggunnya. Suasana saat itu sangatlah damai, hanya ada suara desiran ombak, hembusan angin, burung-burung, serta suara lumba-lumba yang sedang bercengkerama. Helen pun menutup matanya sambil menikmati kedamaian itu. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dengan lembut, suara itu tak asing bagi Helen sehingga membuatnya membuka matanya. Saat dia membuka mata, suasana tersebut berubah menjadi suasana tempat tidurnya dengan seprei yang berantakan dan bantal dimana-mana. Oala… ternyata itu hanya mimpi, dan suara yang memanggilnya tadi adalah suara Ibu.

“Eh, Ibu, kenapa, bu?” kata Helen sambil mengucek-ngucek mata.

“Ayo bangun. Hari ini masih hari Selasa,” kata Ibu sambil membereskan seprei.

“Emangnya kenapa kalau ini hari Selasa?”

“Ya ampun… kamu lupa ya? Hari ini kan kamu masih harus sekolah,” kata Ibu.

“Hah? Iya bu aku lupa, he…he…he… sekarang jam berapa bu?” Tanya Helen sambil garuk-garuk tidak gatal.

“Masih jam lima kok. Tenang saja”

Loh? Kenapa Ibu tidak membangunkanku lima menit lagi?” Tanya Helen lagi.

“Kamu itu suka lama kalau mandi. Sana cepat mandi, nanti keburu Ayah duluan loh…”kata Ibu.

Helen pun langsung ke kamar mandi. Setelah mandi, dia menuju ke kamarnya untuk memakai baju. Baju yang dia pakai hari ini adalah baju putih dengan rok biru panjang. Setelah itu dia menyisir rambutnya yang hitam dan mengikatnya. Waktu menunjukkan pukul enam di jam dinding.

“Helen, ayo cepat dandannya. Kita sarapan bareng,” kata Ibu dari bawah.

“Iya Bu sebentar,” kata Helen.

Lalu dia meluncur ke bawah menuju meja makan. Di meja makan sudah tersedia sandwich ayam dan susu kesukaan Helen. Dia makan bersama Ibu dan Ayahnya.

“Duh, hari ini ayah ganteng banget, deh,” kata Helen iseng.

“Kamu baru tahu ya, kalau Ayahmu ini memang ganteng?” kata Ayah. Helen cekikikan.

Ih… malah pada ngobrol, ayo makan dulu. Ayo Helen cepat makannya, nanti telat loh…” Ibu mengingatkan.

Setelah makan, Ayah dan Helen menuju garasi mobil. Ayah mengantar Helen ke sekolah. Sesampainya di sekolah, Helen bertemu dengan kedua sahabatnya. Ya… siapa lagi kalau bukan Linda dan Irene.

“Hai Lin, hai Ren,” sapa Helen ramah.

“Halo,” sapa Linda dan Irene hampir bersamaan.

Hari ini masih masa orientasi di sekolah. Hari ini jadwalnya adalah memilih dan mencoba ekskul. Linda, Irene, dan Helen memilih ekskulnya masing-masing. Masing-masing siswa diperkenankan memilih setidaknya dua macam ekskul. Linda memilih ekskul teater dan basket. Irene memilih ekskul science club, dan basket. Sedang  Helen memilih ekskul musik dan anggar. Masing-masing siswa pun mengikuti ekskul yang sudah mereka pilih. Masing-masing siswa pun mengikuti kakak-kakak pembimbing ekskul mereka. Ekskul yang dicoba Linda dan Irene pertama adalah ekskul basket, dan Helen memilih ekskul musik sebagai percobaan pertama.

Di suasana ekskul Helen…

“Hai, namaku Selena, siapa namamu?” sapa seorang anak berambut sebahu.

“Namaku Helena. Salam kenal. Sepertinya kita pernah bertemu,” kata Helen ramah.

“Kamu murid kelas 7e yang duduk semeja dengan Ariel kan? Aku teman sekelasmu dan Ariel adalah temanku juga,” jelas Selena.

“Oh, begitu… pantas kamu memperhatikanku saat aku berdebat dengan Ariel kemarin,” kata Helen.

“Ariel memang agak judes dan sombong. Maklum saja, mamanya adalah donatur bagi sekolah ini. Pantas saja kalau dia keras kepala. Tetapi, kalau sudah kenal, dia bisa menjadi teman yang baik kok,” kata Selena lagi.

“Oh, berarti kamu itu teman atau teman baiknya?” Tanya Helen.

“Kami teman baik,” jawab Selena singkat.

“Teman baik, atau ‘teman baik’?” canda Helen.

“Eh, kakak pembimbingnya sudah datang. Yuk kita duduk,” kata Selena.

Hari ini di ekskul musik, hal yang dipelajari pertama adalah cara bermain gitar. Kakak pembimbing di ekskul ini adalah Hanafie, dia kelas 8b, orangnya cool dan pendiam. Murid-murid di bagi menjadi delapan kelompok. Setiap kelompok terdiri atas empat orang. Helen sekelompok dengan Selena, Katerine, dan Josh.

“Ayo, kamu pertama main,” kata Katerine sambil memberikan gitar kepada Helen. Helen kaget, karena dia tidak bisa memainkan gitar.

“Aduh, kenapa dikasih ke aku sih? Padahal aku kan gak bisa main gitar. Lebih baik, dicoba dulu deh,” gumam Helen dalam hati.

Dengan pedenya Helen mengambil gitar yang diberikan Katerine. Padahal dia tidak bisa memainkan gitar sama sekali. Jangankan memainkannya, menyentuh saja tidak pernah. Helen memegang kunci gitar di tangan kanannya, sedangkan pemetik gitar di tangan kirinya. Melihat caranya bermain gitar tersebut, teman-temannya menertawakannya. Helen pun bingung.

Loh kok pada ketawa sih? Apa yang lucu? Aku saja belum membunyikannya,” kata Helen.

“Hmmmpppffff…. Kamu gak bisa main gitar ya?” kata Josh.

Helen masih bingung.

“Cara kamu memegang gitar itu salah Helen, seharusnya kunci gitar itu kamu pegang oleh tangan kirimu, bukan tangan kananmu,” jelas Selena.

“Oh, begitu ya? He…he…he… maklum, aku kan gak bisa main gitar,” kata Helen.

“Mau diajari?” kata Hanafie tiba-tiba.

Eh… anu… diajari?” kata Helen gagap.

Tanpa basa-basi lagi Hanafie duduk di depan Helen. Teman-teman yang lain pun menyingkir. Hanafie segera mengambil gitar dan membaliknya, lalu diberikan lagi kepada Helen. Kunci demi kunci gitar diajarkannya kepada Helen. Jemari-jemarinya pun dengan cekatan menekan kunci gitar, sementara Helen memetik senarnya. Permainan gitar tersebut sangat merdu, dan membuat yang mendengarnya terpana. Sehingga semua orang yang berada di ruangan tersebut pun menoleh ke arah Helen.

“Sekarang kamu sudah mengerti?” Hanafie bangkit dari tempat duduknya.

“Iya pak, eh… bu. Eh… kak. Iya saya lumayan mengerti,” kata Helen gugup.

“Bagus, sering berlatih di rumah ya?” kata Hanafie sambil menepuk pundak Helen. Helen pun mengangguk.

Di suasana ekskul Irene dan Linda…

“Ren, cepetan dong ganti bajunya. Lama amat sih? Amat aja gak lama-lama,” teriak Linda kesal.

Duh, ya sudah deh, kamu tinggalin aku aja. Nanti aku nyusul kok,” kata Irene.

“Oke,” kata Linda sambil meninggalkan Irene.

Beberapa menit kemudian, Irene keluar dari ruang ganti. Dia mengenakan seragam basket sekolah berwarna oranye dengan lengan sebahu dan celana selutut. Rambutnya diikat kunciran berbentuk strawberry. Dia segera menuju lapangan bola basket.

Bruuk! Tidak sengaja Irene menabrak kakak kelas. Namanya Christie. Christie adalah kakak kelas paling nyebelin yang pernah ada. Kalau cari masalah dengannya meskipun tidak sengaja, pasti deh langsung di bully. Duh, please deh… jaman sekarang masih saja ada bully. Tapi itulah Christie, dia akan selalu membully orang yang cari masalah dengannya. Teman-teman ganknya adalah Barbara, Monique, dan Angel.

“Awww…” teriak Christie.

“Aduh maaf,” kata Irene sambil membantu Christie berdiri.

Ih… jangan sentuh aku,” kata Christie dengan nada tinggi.

“Kamu gimana sih? Gak punya mata? Orang segede ini kamu tabrak,” Barbara menimpali.

“Salah, Ra. Padahal matanya ada empat, ya? Ha…ha…ha…” ejek Monique.

Irene menunduk. Matanya terasa hangat dan akan ada sesuatu yang keluar dari matanya. Benar saja, ternyata benda cair putih bening itu berhasil bobol dari mata Irene sehingga membuat kacamatanya basah.

“Duh, Irene lama banget sih? Dia dandan kali ya? Kok belum nongol-nongol juga? Lebih baik, aku samperin aja deh,” kata Linda.

Linda yang melihat sahabatnya sedang disakiti oleh Christie dan kawan-kawannya, langsung menghampiri Irene. “Eh… kamu kenapa Ren?” Tanya Linda.

Irene hanya diam, matanya tampak sembap.

“Lain kali, suruh ya temanmu jalan pakai mata sama kaki. Jangan pakai kaki doang,” kata Christie ketus.

Linda menatap Christie dengan kesal, dia berusaha untuk membalasnya. Tetapi Irene mencegahnya, “jangan buang-buang waktu dan tenaga untuk meladeni orang seperti itu”.

“Tapi dia udah menghina kamu, Ren,” kata Linda.

“Aku gak apa-apa kok. Ya sudah, yuk kita ke lapangan,” kata Irene.

Akhirnya, mereka sampai di lapangan. Mereka dilatih basket oleh Kak Diaz dan Kak Afrie. Hari pertama ekskul basket, siswa kelas 7 diajari dasar-dasar basket. Seperti teknik mengoper, melempar, drible, dan sebagainya. Saat Kak Afrie mengajarkan cara menshoot  three point, Irene malah tidak memperhatikan. Afriepun tahu kalau Irene tidak memperhatikannya, jadi dia menyuruh Irene untuk maju.

“Hei, kamu yang pakai kacamata,” kata Kak Afrie menunjuk Irene.

“Ha? Aku?” kata Irene sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Iyalah, yang pakai kacamata disini cuma kamu kan? Ayo cepat maju,” kata Afrie.

“Kenapa, kak?”

“Tadi saya sudah menjelaskan dan mencontohkan cara menshoot three point, sekarang coba kamu praktekkan,” katanya sambil memberikan bola kepada Irene.

“Ha? Three point? Apaan tuh? Aduh… tadi aku gak merhatiin sih,” gumam Irene dalam hati.

Dengan langkah yang berat, Irene mendekati ring basket sambil mendrible bola, lalu mencoba untuk menshoot three point, beruntungnya, cara yang dilakukan benar, dan bolanya pun masuk ke ring tersebut. Semua orang yang memperhatikan menganga, termasuk Linda.

“Aku berhasil,” sorak Irene disambut riuh tepuk tangan dari teman-temannya.

“Hmh… hanya keberuntungan pemula,” kata Afrie pelan.

Setelah beberapa lama, akhirnya percobaan ekskul pertama selesai, setelah itu dilanjutkan dengan istirahat. Lalu dilanjutkan dengan percobaan pilihan ekskul yang kedua.

Di suasana ekskul teater…

Selain ekskul basket, Linda juga memilih ekskul teater. Sebelumnya, Linda sudah jago berakting. Bahkan, waktu SD dulu, dia selalu memainkan peran dalam pentas drama sekolah. Ada beberapa peran yang dimainkannya, diantaranya: domba dalam kisah “Pengembala dan Serigala” kurcaci dalam kisah “Putri Salju” dan terkadang menjadi  burung-burung yang berkicauan di pagi hari. Eh… tungggu dulu, itu sih namanya hanya menjadi figuran. Tetapi sama saja, figuran atau pemeran utama, intinya sama-sama memainkan peran bukan?

Kakak kelas masuk ke ruang auditorium, tempat Linda dan teman-temannya ekskul teater. Kakak pembimbing ekskul ini adalah Diaz, Kevin, Sofie, Priska, dan Christie. Di ekskul pertama, mereka mencontohkan beberapa gestur, diantaranya cermin, gestur diam seperti patung, akting tertawa, menangis, marah, dan sebagainya.

Tiba-tiba saja, Sofie menyuruh Linda dan Angel untuk maju. Mereka akan mencoba menampilkan gestur  cermin. Alasan sofie memilih mereka berdua karena wajah Linda hampir mirip dengan Angel. Gestur cermin adalah menggerakan anggota tubuh sesuai dengan apa yang di depannya, layaknya bercermin. Kali ini Linda yang akan mengikuti Angel. Tentu saja ini perintah Christie.

Selama mengikuti gerakan Angel, Linda agak kesulitan. Bagaimana tidak? Gerakan-gerakan Angel sangat sulit, dan Angel cepat berganti posisi. Linda sempat kewalahan mengikutinya, tetapi Linda mampu mengikuti gerakan demi gerakan secara tepat dan benar.

Suasana ekskul science club…

Irene memilih ekskul science club. Di ekskul ini, kita mempelajari proses alam, reaksi kimia, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan science. Kakak pembimbing ekskul ini adalah Afrie dan Sammy. Hal pertama yang dipelajari di ekskul ini adalah mengamati objek di mikroskop dan cara menggunakan mikroskop.

“Saya dan Afrie akan menjelaskan bagian-bagian dari mikroskop, dan menjelaskan fungsi-fungsinya,” kata Sammy sambil memegang mikroskop.

“Bagian ini namanya pemutar halus, fungsinya untuk memfokuskan jarak dari preparat,” Afrie menunjuk ke pemutar halus.

Selama penjelasan, Irene terlihat menunduk ke bawah. Bukannya tidak memperhatikan, Irene justru mencocokkan penjelasan dari kakak pembimbing dengan buku ensiklopedia yang dibawanya. Tetapi, Afrie pikir, dia tidak memperhatikan dan malah membaca buku komik. Lalu Afrie memanggil Irene.

“Hei, kamu yang di belakang. Kamu tidak memperhatikan saya bicara ya? Ayo cepat kemari!” kata Afrie kesal.

Irene maju.

“Coba kamu jelaskan apa fungsi dari cermin pada mikroskop,” kata Afrie sambil menunjuk ke cermin mikroskop.

Anak-anak yang lain bingung, karena Afrie balum menjelaskan fungsi cermin. Jadi mustahil Irene menjawabnya, walaupun dia memperhatikan. Tetapi kali ini, Irene mampu menjawab pertanyaan tersebut.

“Ini cermin cembung. Cermin ini memantulkan cahaya dari luar sehingga sampai ke lubang yang ada di diafragma. Jadi bisa menerangi preparat yang diamati di meja preparat, sehingga kita bisa dengan jelas melihat objek yang diamati,” kata Irene mantap. Dan semua murid yang mendengarnya mengangguk-angguk.

“Tadi di belakang, kamu membaca buku apa?” kata Afrie.

Irene kembali ke tempat duduknya untuk mengambil buku ensiklopedianya. Lalu memberikannya kepada Afrie. Dan Afrie melihatnya.

“Oh, buku ini. Ya sudah, kamu boleh duduk,” kata Afrie sambil mengembalikan buku tersebut.

Di kelas 7e…

            “Kamu memilih ekskul anggar tidak?” kata Ariel. Helen mengangguk.

“Sudah praktek ekskul anggar?” Tanya Ariel. Helen menggeleng.

“Wah, kebetulan… aku juga memilih ekskul anggar dan aku juga belum praktek ekskul itu. Ya sudah, yuk kita ke aula olahraga,” kata Ariel.

“Sial! Padahal aku sengaja mencoba ekskul anggar kedua supaya tidak ketemu dengan Ariel, ternyata, dia mencoba ekskul anggar kedua juga,” gumam Helen dalam hati.

“Hei… jangan bengong. Yuk, kita berangkat,” Ariel menarik tangan Helen. Dan mereka menuju ke aula olahraga.

Suasana ekskul anggar…

“Kira-kira kita ngapain ya disini?” Ariel basa-basi.

“Nyangkul,” kata Helen.

“Ha? Ciyus? Miapah? Enelan?” Ariel sok imut.

Ih… Gak Lucu,” kata Helen.

“Aku gak bilang kalau itu lucu,” kata Ariel sambil melirik Helen. Helen tidak menanggapinya.

Kemudian, kakak pembimbing datang. Lalu mereka berlatih anggar sampai bel pulang bordering.

“Oke, latihan hari ini cukup, sering berlatih di rumah ya,” kata salah satu kakak pembimbing.
Bersambung...

Love In Paris EP. 2

Episode sebelumnya...

“Lagian, gak bakal bete kali sekolah di sini. Nih, ya… aku denger-denger ada anak kece nan ganteng yang masuk sekolah ini. Namanya Ariel. Aku jadi penasaran deh,” kata Linda sambil mesem-mesem sendiri.

“Emangnya dia kece gimana maksud kamu?” Tanya Helen.

“Selain ganteng. Dia itu juara anggar loh… keren, ya? Aku ingin deh, punya kakak sekeren itu,” jelas Linda.

Helen dan Irene tertawa.

Kok ketawa? Apa yang lucu?” Linda garuk-garuk tidak gatal.

“Jadi kamu baru sadar kalau olahraga anggar itu keren? Tapi kok kamu selalu malas ya menemaniku nonton pertandingan anggarnya Helen?” Tanya Irene.

“Kamu juga pernah bilang, ‘ah… apa bagusnya sih? Itu sih namanya bukan olahraga. Kalahnya cuma sebentar, gak seru’” kata Helen sambil menirukan celotehan Linda.

Linda berpikir sebentar, “Iya… iya… aku akui deh kalau olahraga anggar itu emang keren. Tapi yang jelas, aku sudah gak sabar nih, ingin ketemu sama dia.”
Episode 2...

Teet…teet…teet… bel berbunyi.

“Sekarang jam berapa, Hel?” Tanya Irene

“Tujuh,” kata Helen sambil menatap arlojinya.

“Wah, sudah waktunya masa orientasi, nih. Yuk, kita kembali ke kelas masing-masing,” Linda mengingatkan.

Merekapun bersama-sama menuju kelas mereka.

Di kelas Helen…

Helen bertemu lagi dengan orang yang menabraknya tadi. Ternyata, Helen satu kelas dengan orang tersebut.

“Aduh, 4L. Lo Lagi Lo Lagi. Kenapa sih kamu ngikutin aku terus?” kata anak itu sinis.

Ih… jangan ge’er, ya? Siapa yang ngikutin kamu? Jangan kepedean deh. Lagi pula, ini kan kelasku. Atau jangan-jangan… kamu ya yang ngikutin aku?” Helen membela diri.

Mereka pun berdebat. Pastinya memperdebatkan hal-hal yang tidak penting. Mereka hanya membuang-buang waktu. Bukannya mencari tempat duduk, mereka malah berdebat gak jelas. Alhasil, saat teman-teman yang lain sudah mendapatkan tempat duduknya masing-masing,  mereka tinggal berdua sampai kakak kelas datang ke kelas mereka.

“Selamat pagi,” kata Sammy, kakak kelas.

Helen dan Ariel panik. Mereka masih berdiri. Saat Helen melihat meja dengan sepasang bangku kosong, cepat-cepat Helen menghampiri meja itu. Saat dia ingin duduk, tiba-tiba anak itu mencegahnya.

“Aku mau duduk di tempat ini,” kata anak itu.

“Apa-apaan sih? Aku yang mau duduk di sini duluan. Jadi kamu lebih baik minggir deh. Sana cari tempat duduk yang lain,” Helen mengusir anak itu.

Mereka tidak sadar kalau mereka sedang mejadi perhatian satu kelas. Bahkan, ada satu anak yang memperhatikan mereka dengan wajah yang aneh. Kakak-kakak kelas pun memperhatikan mereka.

“Lebih baik, kalian semeja saja deh, kami mau memulai orientasi, loh,” kata salah satu kakak kelas.

Helen dan anak itu saling bertatap muka.

“Uh… menyebalkan. Lebih baik aku duduk di lantai daripada semeja dengan orang yang sombong,” gumam Helen dalam hati.

“Kalau kakak kelas gak nyuruh aku untuk semeja sama kamu, aku sudah duduk di lantai dari tadi,” kata anak itu sambil menatap Helen.

Helen hanya menggeleng-geleng kepala. Masa orientasi sekolah di Georgino Junior High School sangat menyenangkan. Para kakak kelas di sini sangat ramah-tamah. Mereka mendemonstrasikan ekskul mereka dan memperkenalkan pelajaran-pelajaran serta warga sekolah. Ekskul-ekskul yang didemonstrasikan adalah musik, olahraga, cheerleader, pramuka, teater, dan masih banyak lagi. Dan yang lebih mengasyikkan lagi, ternyata ekskul anggar pun ada.

Tak terasa lima jam pun berlalu. Arloji Helen menunjukkan waktu pukul 12.30 siang. Ini berarti masa orientasi sudah selesai. Bel pun sudah berbunyi. Helen segera mengancingkan tasnya dan bersiap-siap untuk pulang. Saat dia berdiri, tiba-tiba anak yang semeja dengannya menarik tangan Helen.

“Aku dengar, kamu masuk ke sekolah ini lewat beasiswa, ya?” kata anak itu.

Helen tidak mempedulikan anak itu dan beranjak pergi.

“Tunggu dulu. Kamu masuk ke sekolah ini karena beasiswa atas keterampilanmu dalam olahraga anggar, kan?” kata anak itu lagi.

“Bukan urusanmu,” jawab Helen ketus.

“Aku tertarik untuk bertanding dengan orang seperti kamu. Aku juga pernah meraih juara dalam kompetesi anggar. Bagaimana kalau jam satu siang nanti kita berduel anggar di aula olahraga? Kebetulan juga, hari ini kakak kelas yang mendemonstrasikan ekskul agar tadi sedang berkumpul. Jadi kita bisa meminta mereka untuk menjadi jurinya. Bagaimana?” kata anak itu.

“Oke! Siapa takut? Setengah jam lagi kita akan berduel. Jangan sampai gak datang, ya,” kata Helen.

Helen menuju ke kelas 7d, ke kelas Linda. Sesampainya di kelas Linda, ternyata Irene sudah ada di kelas Linda.

“Hai Helen… Bagaimana masa orientasinya? Menyenangkan tidak?” kata Irene.

“Ya… lumayanlah untuk hari pertama, ternyata kata kamu benar, gak semua orang yang bersekolah di sini sombong-sombong,” kata Helen sambil tersenyum.

Nah… begitu, dong, kan kalau kamu senyum jadi cantik,” kata Linda.

“Kamu baru tahu ya, kalau aku cantik?” kata Helen.

“Ih… kamu. Baru dipuji sedikit aja sudah nge-fly,” kata Irene.

“He…he…he… gapapa, yang penting aku senyum, kan?” kata Helen.

“Ya sudah, tunggu apa lagi? Yuk, kita pulang.” kata Irene.

“Eh, tunggu dulu. Sepulang sekolah ini aku mau duel dulu,” kata Helen.

“Duel? Duel itu bukannya yang nyanyi berdua, ya?” kata Linda.

“Itu namanya duet, Lin… Please, deh… duel itu artinya bertarung. Emangnya kamu mau duel dengan siapa, Hel?” Tanya Irene.

“Aku mau berduel dengan anak yang bertabrakan denganku tadi pagi itu. Ternyata dia sekelas denganku. Dan lebih buruknya lagi… kami semeja. Dan dia bilang duelnya di mulai jam satu siang di aula olahraga… Eh… gawat, sudah jam satu. Aku harus kesana sekarang.” Kata Helen.

“Eh, kami ikut, dong,” kata Irene.

“Ren, aku gak mau ikut, ya? Kalau kamu mau ikut, sana pergi sendiri,” bisik Linda kepada Irene.

“Oh… ya sudah. Mau titip salam gak buat Ariel? Siapa tahu nanti kami bertemu dengannya,” kata Irene mengejek sambil meninggalkan Linda.

“Ariel? Eh… aku ikut deh  jangan tinggalin aku, dong…” Linda mengejar Helen dan Irene.

Sesampainya di aula olahraga…

“Terlambat lima menit,” kata anak itu.

“Biar! Lagi pula, kamu semestinya bersyukur aku mau datang,” kata Helen.

“Ya sudah. Sana cepat ganti baju. Jangan membuang-buang waktu,” kata anak itu sambil melemparkan kostum untuk olahraga anggar kepada Helen.

Helen langsung ke kamar ganti dan mengganti bajunya. Lima menit kemudian, mereka berduel. Pertandingan berlangsung sangat sengit. Helen tampak tergesa-gesa menjatuhkan lawannya. Berkali-kali pedangnya dihunuskan kepada anak itu. Tetapi, anak itu tampak luwes menangkis serangan dari Helen. Dan anak itu pun tidak mau kalah. Tangannya yang cepat itu menghunuskan pedangnya ke Helen. Untung saja Helen dapat menghindar dari serangan tersebut. Dan orang-orang yang ada disana perlahan-lahan menuju ke tempat mereka berduel. Helen hilang konsentrasi, dan dia menoleh ke tempat temannya duduk, dan…

Teet… anak itu mengalahkan Helen.

“Aku menang,” kata anak itu.

Helen hanya diam.

“Semestinya, murid seperti kamu itu tidak pantas mendapatkan beasiswa dan bersekolah disini, Helena Anastasya.” Kata anak itu sombong.

“Darimana dia tahu namaku?” gumam Helen dalam hati.

“Hei, ini masih permulaan ya, anak misterius,” Helen membela diri.

“Jangan memanggilku dengan sebutan anak misterius. Perkenalkan, namaku adalah Ariel Alexandria. Kau bisa memanggilku Ariel,” kata anak itu sambil tersenyum. Kali ini senyumnya tidak sinis, melainkan senyum yang ramah.

“Oh… jadi anak ini yang diceritakan Linda. Kemampuannya memang sangat bagus. Pantas saja Linda mengaguminya,” gumam Helen dalam hati.

“Lain kali, kita berduel lagi ya? Aku senang berduel dengan cewek seperti kamu,” kata Ariel.

Helen langsung menuju ke tempat Irene dan Linda, dia mengambil tasnya dan menuju ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai, Helen langsung mengajak Irene dan Linda untuk pulang. Mereka pulang ke rumah dengan jalan kaki. Mereka bercakap-cakap saat di perjalanan.

“Oh, jadi itu yang namanya Ariel?” Tanya Helen.

“Iya, yang itu orangnya. Yang bertabrakan sama kamu, yang sekelas sama kamu, yang semeja sama kamu, yang menurut kamu sombong, dan yang terakhir… yang berduel sama kamu,” kata Linda kesal.

Loh, kok kamu kesal, Lin?” kata Helen.

“Aku bete aja. Kenapa bukan aku aja yang kayak begitu sama Ariel?” kata Linda. Kali ini bibirnya agak maju.

“Oh… karena itu,” kata Irene meledek Linda.

Ih… kamu nyebelin banget, sih Ren,” kata Linda gemas sambil mencubit hidung Irene. Irene pun meringgis kesakitan. Helen pun tertawa melihat tingkah teman-temannya yang lucu itu. Setelah lama berjalan, tak terasa mereka telah sampai di perempatan jalan. Di perempatan jalan pun mereka berpisah. Helen belok ke kiri, Linda lurus, dan Irene belok ke kanan.
Bersambung...